Tidak bisa disangsikan lagi, bahwa pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman memerlukan penerapan teknik-teknik silvikultur yang intensif untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas tegakan secara lestari dan berkesinambungan. Penerapan teknik silvikultur intensif, dimulai ketika memilih spesies yang cocok dan sesuai ditumbuhkan pada lahan yang ada, serta diintegralkan kedalam industri Atau peluang pasar. Di dalam operasional kegiatannya, perlu dicari dan ditentukan teknik-teknik yang mudah dan mendukung dalam memperoleh produktivitas yang tinggi, sekaligus meningkatkan mutu lingkungan dan bermanfaat bagi masyarakat (Arisman, 2000). Untuk itu perlunya penataan areal (di awal kegiatan), dan penerapan teknologi dan dukungan ilmu pengetahuan pada setiap komponen kegiatan.
Penataan areal
Sebelum
dilakukannya pembangunan tanaman, proses pertama yang dilakukan adalah
penataan areal. Secara garis besar areal bisa dibagi menjadi
Wilayah-wilayah (berdasarkan letak geografis dan luas areal). Kemudian
dari wilayah ini dibagi ke dalam beberapa unit, dengan luas 15.000 -
20.000 ha. Unit dibagi
lagi ke dalam blok, dengan luas sekitar 5.000 ha. Kemudian, blok dibagi
ke dalam subblok, dengan luas sekitar 1.000 ha, dan sub-blok dibagi
kedalam petak seluas 50 ha, arah utara-selatan 1.000 m, dan barat-timur
500 m. Petak merupakan satuan pengelolaan terkecil. Tetapi petak ini
bisa terbagi lagi menjadi anak petak.Pada daur kedua, setelah penebangan
daur pertama, dilakukan rekonstruksi petak berdasarkan kondisi
geografis, dengan diterapkannya teknologi sistem informasi geografi
(geographic information systems).Untuk mendukung operasional,
dibangunlah infrastruktur, seperti jalan utama, jalan cabang, jalan
tanam maupun jalan inspeksi, jembatan, dan sebagainya. Areal yang
dipakai untuk infrastruktur ini, mencapai sekitar 20 m2/ha. Untuk
mendukung kelestarian hutan dan lingkungan, perlu dipertahankannya
kawasan hutan konservasi, zona proteksi (lebung, dan sempadan sungai),
serta penanaman jenis lokal dan MPTS (multi purpose trees species).
Sistem silvikultur
Sistem
silvikultur yang diterapkan untuk jenis Acacia mangium adalah tebang
habis permudaan buatan. Sistem ini sesuai diterapkan pada lahan-lahan
terdegradasi untuk tujuan pengusahaan hutan tanaman, dengan memakai
teknik silvikultur yang intensif. Oleh karenanya, diperlukan areal yang
luas dan relatif kompak, sehingga dapat dibuat tegakan tanaman yang sama
umur, seragam dan berkesinambungan dengan produksi yang tnggi dan
kualitas yang baik. Selain untuk produksi pulp, Acacia mangium juga baik
digunakan sebagai kayu pertukangan. Pada petak- petak untuk
menghasilkan kayu pertukangan dilakukan penjarangan. Hasil penjarangan
ini dapat dimanfaatkan untuk bahan pulp, particle board atau energi.
Pengadaan Benih
Bibit
A. mangium yang digunakan berasal dari benih dan diproduksi di
persemaian. Pada awalnya, digunakan benih dari tegakan benih lokal yang
belum terimprove, tetapi selanjutnya harus ditingkatkan dengan
menggunakan benih unggul (asal benih maupun famili terpilih) dari hasil
program pemuliaan pohon. Dilihat dari nilai riap, hasil penelitian di
Subanjeriji terdapat 5 provenans (dari 20 provenan) yang paling baik
adalah berasal dan Papua Niugini dan Queensland, yaitu Oriomo R (PNG),
Olive R (QLD), Wipim (PNG), Lake Muarray (PNG), dan Kini (PNG). Tetapi,
apabila dilihat dari nilai/indeks kelurusan batang dan persistensi sumbu
batang, 5 provenans terbaik adalah Oriomo R (PNG), Wipim (PNG), Muting
(Merauke), Kuru (PNG), dan INHUTANI (Pohon plus) (Siregar dan Khomsatun,
2000). Untuk membangun tegakan kayu pertukangan, perlu dipertimbangkan
pemakaian benih yang mempunyai indeks kualitas bentuk batang dan
kelurusan tinggi, di samping riap pertumbuhannya. Program pemuliaan
pohon harus terus dilakukan, seperti upaya peningkatan genetik melalui
seleksi provenans dan seedlot, dalam rangka menghasilkan bahan tanam
yang terbaik dan paling menguntungkan. Saat ini, untuk menyebut contoh,
di Sumatra Selatan telah terdapat area produksi benih (SPA; Seed
Production Area) seluas 96,8 ha, kebun benih semai generasi pertama
(SSO; Seedling Seed Orchard) seluas 49,5 ha, dan telah dibangun kebun
benih campuran (composite seed orchard) seluas 14,5 ha. Setiap tahunnya,
dari areal kebun benih seluas itu, mampu diproduksi benih A. mangium
lebih dari 1 ton
Persemaian
Pada
awalnya (uji coba dan pengalaman awal) bibit diproduksi dalam kantong
polybag dengan media topsoil, sabut kelapa sawit, dan gambut. Tetapi
setelah melalui serangkaian penelitian, kemudian didapatkan container
dan bahan yang efektif dan ekonomis, yaitu memakai polytube dan side
slit, yang dapat merangsang pertumbuhan akar. Media yang dipakai adalah
seresah yang diambil dari lantai hutan tanaman A. mangium dicampur
dengan topsoil (perbandingan 70:30) atau sisa kulit A. mangium dari
pabrik pulp yang telah dikomposkan. Bibit dipelihara selama 3 bulan,
kemudian dilakukan sortasi (grading). Standar bibit dilakukan agar bibit
yang sampai ke lokasi penanaman benar-benar memiliki kualitas yang
baik, seragam, mampu hidup dan tumbuh dengan baik. Bibit A. mangium yang
berkualitas baik dan diperbolehkan untuk dikirim ke lapangan adalah
yang mempunyai tinggi bibit 25-30 cm dan diameter > 3,0 mm, batang
keras dan lurus, warna kecoklatan, daun tebal hijau, struktur akar
kompak, media tidak pecah, bebas hama dan penyakit serta segar. Bibit
diangkut ke lokasi pertanaman memakai truk atau traktor. Untuk menjaga
kualitas bibit, perlu dibuatkan tempat penampungan bibit (TPB) sementara
di dekat lokasi pertanaman.
Persiapan lahan
Pada
tahap awal pembangunan HTI, lahan alang-alang bertopografi datar/landai
(kemiringan <15%),> 22 cm untuk kayu gergajian.Membangun tegakan
untuk kayu pertukangan melalui proses penjarangan. Selain untuk kayu
konstruksi dan pertukangan, peruntukan kayu A. mangium yang lain adalah
sebagai bahan baku pembuatan papan partikel. Hashim et.al. (1998)
melaporkan bahwa ketebalan papan partikel kayu A. mangium setara dengan
papan partikel kayu karet. Kayu A. mangium dapat juga diproses menjadi
vinir dan kayu lapis. Vinir yang dihasilkan bersifat teguh, halus dan
kualitasnya dapat diterima. Studi pembuatan kayu lapis dengan
menggunakan perekat phenol formaldehide atau penol resin memberikan
kualitas kayu lapis yang dapat diterima atau melebihi persyaratan
minimum (Abdul-Kader and Sahri, 1993; Yamamoto, 1998). Abdul-Kader dan
Sahri (1993) juga membuktikan bahwa kayu A. mangium dapat dipakai
sebagai bahan MDF yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan
MDF dari beberapa spesies di Jepang, seperti Pinus resinosa, Cryptomeria
japonica, Chamaecyparis obtusa dan Larix leptolepis. Kayu A. mangium
telah digunakan sebagai bahan baku oleh beberapa perusahaan MDF di
Indonesia. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keteguhan lentur dan
geser LVL (laminated veneer lumber) dari kayu A. mangium lebih baik
daripada nilai minimum (Abdul-Kader and Sahri, 1993). Kayu A. mangium
telah dicoba untuk pembuatan OSB (oriented strand board) yang hasilnya
menunjukkan bahwa stabilitas dimensi dan kekuatannya memenuhi standar
persyaratan Jepang (Lim, et.al., 2000) Pembuatan arang dari kayu A.
mangium telah dicoba (Hartoyo, 1993; Nurhayati, 1994; Pari, 1998;
Fakultas Kehutanan, UGM 2000; Okimori et.al., 2003), dan berkualitas
baik. Dengan diolah menjadi briket arang, nilai kalor dan karbon terikat
meningkat, dan hasilnya lebih baik apabila dibandingkan dengan briket
batubara (Fakultas Kehutanan UGM, 2000).
Membangun tegakan kayu pertukangan
Pada
prinsipnya, silvikultur hutan tanaman untuk menghasilkan kayu
pertukangan sama dengan membangun tegakan untuk bahan pulp (hingga umur
tanaman 2 tahun). Setelah umur 2 tahun terdapat perbedaan, yaitu adanya
kegiatan penjarangan (thinning), pemangkasan cabang (pruning), dan
perawatan lanjutan. Penjarangan dimaksudkan untuk mengurangi jumlah
pohon dalam tegakan dan memberikan ruang tumbuh yang cukup untuk
memperoleh tegakan berdiameter pohon besar. Pemangkasan cabang
dimaksudkan untuk menghilangkan percabangan untuk mengurangi cacat mata
kayu (knot) yang berpengaruh pada kualitas kayu yang dihasilkan. Agar
tegakan kayu pertukangan berkualitas baik, maka perlu dilakukan
tahapan-tahapan, antara lain penentuan petak, kegiatan penjarangan,
pemangkasan cabang dan perawatan (Gunawan, 2003).
Penentuan petak
Petak yang ditentukan sebagai calon tegakan kayu pertukangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Tanaman telah berumur antara 2 – 3 tahun, tajuk (canopy) sudah saling menutup, diameter (dbh)batang sudah mencapai 9 – 12 cm, dan tinggi mencapai 7 – 9 m.
- Pohon-pohon didalam Petak memiliki pertumbuhan yang baik (tinggi rata-rata 8 m, diameter rata- rata 11 cm) serta kualitas batang yang baik (lurus, tidak menggarpu (forking) sampai ketinggian 6 m).
- Luas petak memadai , sehingga hanya diperlukan sedikt jumlah petak untuk mencapa target dan letaknya mengelompok agar lebih mudah dalam pelaksanaan
- Aksesibilitas petak baik, yaitu dekat jalan dan tidak terpencil jauh. Hal ini untuk memudahkanpengawasan dan pengamatannya
Penjarangan
Penjarangan dilakukan dalam 2 tahap dalam 1 daur tanaman. Setiap tahap menghilangkan 50% dari populasi yang ada. Penjarangan
tahap pertama, dilakukan saat tanaman umur 2 tahun. Metode yang dipakai
adalah selektif dan sistematik. Metode selektif, dilakukan dengan cara
memilih tegakan yang mempunyai sifat baik untuk kayu pertukangan,
seperti kelurusan batang, ketinggian bebas cabang, diameter batang, dan
kesehatan tanaman. Metode sistematik hanya dilakukan pada jalur sarad
(setiap jarak 50 m), yaitu menebang seluruh pohon pada jalur sarad.
Jalur sarad ini dipakai untuk akses mengeluarkan kayu hasil penjarangan
untuk dimanfaatkan dengan tujuan lain (pulp, energi, papan partikel
dsb). Penjarangan tahap kedua dilakukan sewaktu tajuk antar-tanaman
sudah saling menutup kembali (tanaman berumur 4 – 5 tahun). Penebangan
(penjarangan) menggunakan chainsaw ukuran kecil, dan dilakukan secara
hati-hati karena pola tebangnya tidak teratur. Rebah pohon tebangan
diarahkan sedemikian rupa, sehingga tidak merusak tajuk pohon-pohon yang
ditinggalkan. Batang hasil penebangan dipotong-potong sesuai kebutuhan
untuk dimanfaatkan dan dikumpulkan (secara manual) di pinggir jalur
sarad, kemudian dikeluarkan ke TPn (pinggir jalan)
Perawatan lanjutan
Perawatan
tanaman setelah penjarangan yang perlu dilakukan adalah kegiatan
pemangkasan cabang dan pengendalian gulma (weeding). Pemangkasan cabang
dilakukan dua kali; bersamaan penjarangan pertama, dan setahun setelah
penjarangan pertama. A. mangium mempunyai kemampuan self pruning yang
sangat rendah, oleh karenanya sangat penting dilakukan pruning untuk
memperoleh kayu pertukangan yang baik. Keterlambatan tindakan pruning
akan mengakibatkan beberapa hal:
- Mengurangi sifat keteguhan kayu, karena serat mata kayu relatif tegak lurus serat batang pohon,
- Menyulitkan pengerjaan karena kerasnya penampang mata kayu,
- Mengurangi keindahan permukaan kayu, dan
- Menyebabkan berlubangnya lembaran-lembaran veneer
Pohon-pohon
tinggal harus dipangkas cabangnya menggunakan gergaji pangkas atau
gunting pruning. Pemangkasan dilakukan dengan memotong cabang tepat pada
leher cabang. Pemangkasan yang meninggalkan sisa cabang, akan
menyebabkan sisa cabang tersebut mati dan membusuk yang pada akhirnya
menjadi jalan bagi infeksi jamur, disamping akan membuat kayu cacat.
Sebaliknya, pemangkasan terlalu dalam akan meninggalkan luka besar yang
membutuhkan waktu lama untuk penyembuhannya. Pemangkasan yang tepat akan
meninggalkan luka yang kecil dan tanpa sisa cabang, sehingga luka akan
cepat tertutup kembali oleh kalus. Setiap periode pemangkasan, tajuk
hidup yang ditinggalkan minimal sebesar 50% dari tinggi pohon.
Meninggalkan tajuk kurang dari 50% akan menghambat pertumbuhan diameter
pohon. Pada akhirnya nanti diharapkan kayu pertukangan yang dihasilkan
memiliki batang bebas mata kayu sampai pada ketinggian 4–6 m. Oleh
karena itu pemangkasan cabang dilakukan sampai setinggi 4,2 m dimana 0,2
m adalah cadangan untuk kerusakan dan pecah ujung. Weeding setelah
penjarangan, tidak seintensif seperti 2 tahun pertama. Kalau weeding
pada dua tahun pertama bertujuan untuk mengurangi kompetisi dengan
gulma, maka kegiatan weeding pasca penjarangan ini lebih ditujukan untuk
mepermudah akses inventory dan supervisi, dalam mendapatkan tegakan
kayu pertukangan yang berkualitas
Biaya pembangunan tegakan kayu pertukangan
Pembangunan
tegakan A. mangium untuk pertukangan hingga umur 2 tahun sama dengan
biaya pembangunan untuk bahan pulp. Tetapi setelah umur 2 tahun
diperlukan tambahan biaya, yaitu penjarangan, pemangkasan cabang dan
perawatan. Total biaya operasional dari awal hingga siap panen adalah
Rp. 2.841.250,-/ha (diluar biaya investasi dan overhead)
Kesimpulan
- Hutan tanaman merupakan sebuah keniscayaan untuk menyediakan bahan baku industri secaraberkelanjutan.
- Pemilihan jenis-jenis cepat tumbuh dilakukan untuk memenuhi pertimbangan ekonomi, finansial dan tuntutan kesejahteraan masyarakat sekitar. A. mangium merupakan jenis yang memenuhi syarat untuk diusahakan, mudah dibudidayakan, adaptable untuk lahan-lahan marginal, produktif dan responsif terhadap upaya pemuliaan pohon, serta multiguna
- Penerapan silvikultur intensif, manipulasi genetik dan pemuliaan pohon, mutlak diperlukan untuk peningkatan riap dan kualitas kayu
- Pemilihan jenis cepat tumbuh dan penerapan silvikultur intensif merupakan langkah awal yang harus segera ditempuh untuk memupuk sumberdaya guna membangun kembali kehutanan Indonesia.
No comments:
Post a Comment