PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Gambir merupakan salah satu komoditas perkebunan
rakyat yang bernilai ekonomi tinggi dan prospektif untuk dikembangkan secara
komersial pada masa yang akan datang, mengingat kegunaannya yang beragam baik
secara tradisional sebagai pencampur makan sirih maupun sebagai bahan baku dan
bahan penolong berbagai industri seperti industri farmasi, penyamak kulit,
minuman, cat, dan lain-lain.
Di Indonesia gambir pada umumnya digunakan untuk
menyirih. Gambir diketahui merangsang keluarnya getah empedu sehingga membantu
kelancaran proses dalam perut dan usus (Djarwaningsih, 1993). Fungsi gambir
yang lain adalah untuk campuran obat seperti untuk luka bakar, obat sakit
kepala, obat diare, obat disentri, obat kumur-kumur, obat sariawan, serta obat
sakit kulit yang digunakan dengan cara dibalurkan, penyamak kulit dan bahan
pewarna tekstil. Fungsi yang tengah dikembangkan juga adalah sebagai perekat
kayu lapis atau papan partikel (Nazir, 2003). Menurut Ridsdale (1993), gambir
memiliki tiga kegunaan utama yaitu: (1) untuk penyamak kulit, (2) untuk
menyirih yang dikonsumsi bersama buah pinang (Areca catechu L), kapur
dan daun sirih (Piper betle L.) serta (3) untuk obat-obatan.
Fungsi yang tengah dikembangkan juga adalah sebagai perekat
kayu lapis atau papan partikel. Produk ini masih harus bersaing dengan sumber
perekat kayu lain, seperti kulit kayu Acacia mearnsii, kayu Schinopsis
balansa, serta kulit polong Caesalpinia spinosa yang
dihasilkan negara lain.
Kandungan
yang utama dan juga dikandung oleh banyak anggota Uncaria lainnya adalah flavonoid
(terutama gambiriin), katekin (sampai 51%), zat penyamak
(22-50%), serta sejumlah alkaloid
(seperti gambirtannin dan turunan dihidro- dan okso-nya.
Selain itu gambir dijadikan obat-obatan modern yang diproduksi negara jerman,
dan juga sebagai pewarna cat pakaian.
Secara modern gambir banyak digunakan sebagai bahan
baku industri farmasi dan makanan, di antaranya bahan baku obat penyakit hati
dengan paten “catergen”, bahan baku permen yang melegakan kerongkongan bagi
perokok di Jepang karena gambir mampu menetralisir nikotin. Sedangkan di
Singapura gambir digunakan sebagai bahan baku obat sakit perut dan sakit gigi
(Suherdi dkk, l99l; Nazir, 2000). Idris (1997) melaporkan bahwa pathogen
Fusarium Sp sebagai penyebab penyakit becak daun tanaman klausena dapat
dikendalikan dengan menggunakan pestisida nabati yang berasal dari ekstrak daun
gambir. Selain itu, pestisida nabati yang berasal dari daun gambir juga mampu
mengendalikan F. Oxysporium penyebab penyakit layu tanaman cabai (Nasrun, 1999)
dan F. oxysporium f.Sp Licopersici penyebab penyakit layu tanaman tomat
(Nasrun, 2001)
1.2 tujuan
Tujuan dalam praktikum ini adalah untu menganalisa
usahatani gambir supaya mengetahui seberapa berhasilnya tanaman gambir dan
tugas akhir pratikum manajemen usahatani.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Gambir
adalah tumbuhan perdu setengah merambat dengan
percabangan memanjang. Daun oval, memanjang, ujung meruncing, permukaan tidak
berbulu (licin), dengan tangkai daun pendek. Bunganya tersusun majemuk dengan
mahkota berwarna merah muda atau hijau; kelopak bunga
pendek, mahkota bunga berbentuk corong
(seperti bunga kopi),
benang sari
lima, dan buah berupa kapsula
dengan dua ruang.
Tanaman
gambir dibudidayakan pada lahan
ketinggian 200-800 m di atas permukaan laut. Mulai dari topografi agak datar
sampai di lereng bukit. Biasanya ditanam sebagai tanaman perkebunan di
pekarangan atau kebun di pinggir hutan. Budidaya biasanya semiintensif, jarang
diberi pupuk tetapi pembersihan dan pemangkasan dilakukan. Di Sumatra kegiatan
penanaman ini sudah mengganggu kawasan lindung.
Tumbuhan
gambir (Uncaria gambir (Hunt.) Roxb) termasuk dalam divisi Magnoliophyta,
kelas Magnoliopsida, ordo Gentianales, family Rubiaceae dan
genus Uncaria (Ridsdale, 2007). Gambir merupakan liana yang batang
mudanya berbentuk persegi dan batang utamanya tegak, dilengkapi dengan kait
yang melengkung. Kait tersebut adalah modifikasi dari gagang perbungaan.
Daunnya berhadapan, agak menjangat, pinggirannya rata, berbentuk bundar telur
sampai lonjong, gundul, pertulangan daun bagian bawah menonjol dengan
rambut-rambut domatia, penumpunya rata, gundul, panjangnya 7.5-12.5 cm.
Perbungaannya bertipe bongkol, tumbuh di ketiak daun dan di ujung ranting,
bongkol itu berdiameter 6-8 cm, tangkai bunga mencapai panjang 3 mm, gundul,
hipantium bergaris tengah 1-2 mm, berambut rapat, berwarna kuning sampai merah
tua, tabung mahkota berbentuk benang, bagian luar berbulu jarang, panjangnya
10-15 mm, daun kelopak panjangnya 5-7 mm, tabungnya + 2.5 mm. Buahnya berbentuk
bulat agak lonjong, berdiameter 15-17.5 mm (Djarwaningsih, 1993). Gambir
dibudidayakan pada lahan dengan ketinggian 200-800 m di atas permukaan laut,
mulai dari topografi agak datar sampai di lereng bukit. Biasanya gambir ditanam
sebagai tanaman perkebunan di pekarangan atau kebun di pinggir hutan. Budidaya gambir biasanya
semiintensif, jarang diberi pupuk tetapi pembersihan dan pemangkasan dilakukan
(Djarwaningsih, 1993).
Tanaman gambir di daerah Sumatera Barat, merupakan
tanaman yang diusahakan secara turun-temurun, dan dianggap sebagai tabungan
hidup serta sumber pendapatan bagi masyarakat. Pertanaman gambir rakyat di
Kabupaten Lima Puluh Kota, meskipun tidak begitu banyak mengalami penambahan
areal baru tapi komoditas ini merupakan komoditas unggulan dengan kawasan
andalan di Kecamatan Pangkalan, Kapur IX, dan Suliki (LPEPFEUNAND, l998).
Berbeda dengan di Kabupaten Pesisir Selatan yang dua per tiga dari lahan yang
ada sekarang merupakan bukaan baru dan umumnya terletak pada lahan kritis
dengan kemiringan yang cukup tinggi dan didominasi oleh semak belukar serta
hutan lebat, sehingga persiapan awal penanaman gambir memerlukan modal dan
tenaga kerja yang cukup besar. Oleh karena itu, untuk membuka lahan petani biasanya
melakukan pembakaran dengan alasan biaya lebih murah dan mudah mengerjakannya
serta abunya dapat berfungsi sebagai pupuk untuk menyuburkan tanah (Buharman
dkk, 200l).
Selanjutnya petani akan membuat lobang tanam dengan
jarak tanam 1,5 x1,5 m atau tidak beraturan bila dilahan tersebut ditanami
tanaman keras lainnya seperti durian, kasiavera, petai dan lain-lain. Bahan
tanaman yang digunakan oleh petani umumnya menggunakan bibit kebun sendiri atau
dari kebun tetangga. Hasan dkk (2000) mengemukakan bahwa pemeliharaan tanaman
gambir sangat jarang dilakukan petani, seperti pemupukan dilakukan hanya dengan
mengembalikan ampas dari perasan daun gambir yang telah mengompos, di letakkan
di sekitar pohon tanaman gambir.
Penyiangan dilakukan dengan cara menebas semak-semak
yang berada disekitar pohon gambir. Hal ini sebagai usaha menghindari
terjadinya erosi, mengingat lahan yang digunakan kebanyakan lahan miring,
apalagi pengendalian erosi dengan pembuatan teras tidak pernah dilakukan
petani. Sedangkan untuk pengendalian hama dan penyakit, petani hampir tidak
pernah melakukannya, kalaupun ada hanya sebatas pembongkaran tanaman yang
mengalami tingkat serangan yang sudah cukup berat, kemudian setelah itu
menggantikan tanaman yang telah dicabut dengan tanaman yang baru (Mardinus et
al., l995).
Pemanenan
Tanaman gambir dipanen pertama kalinya pada saat
tanaman berumur 1-2 tahun. Sedangkan panen berikutnya tidak ada kriteria
tertentu, biasanya petani hanya melihat jumlah daun yang cukup banyak dengan
usia daun berkisar antara 6- 8 bulan setelah panensebelumnya. Panen menggunakan
dua orang tenaga menggunakan alat ani-ani atau tuai memotong seluruh
ranting-ranting yang terdapat pada cabang tanaman dengan jarak 2-3 cm dari
pangkalnya, kecuali ranting muda yang terdapat pada ujung-ujung cabang
(Buharman dkk, 200l).
Daun beserta ranting diikat dan dimasukkan ke dalam
sebuah keranjang anyaman rotan dengan kapasitas 15 kg dan langsung dibawa
ketempat pengolahan yang letaknya di tengah kebun. Dalam satu hari dua orang
petani pekerja mampu memanen daun gambir sebanyak 4 5 keranjang,
Kualitas dari
gambir biasanya ditentukan pada saat pengolahan. Petani pengolah yang
menggunakan air rebusan daun gambir yang berulang-ulang akan mendapatkan
kualitas lebih jelek bila dibandingkan hasil olahan yang airnya diganti setiap
melakukan pengolahan (Hasan, 2000).
Pada umumnya petani gambir mengolah gambir menjadi
produk dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana yang diperoleh secara
turun menurun, walaupun beberapa produk hasil rakitan dari Balitro Bogor dan
BPTP Sumatera Barat telah dikenalkan kepada petani, tetapi karena harga produk
tersebut dirasakan masih mahal oleh petani, maka sebagian besar petani masih
enggan menggunakannya
Pasar gambir sudah berkembang dan tersebar di
beberapa tempat baik di Kabupaten Lima Puluh Kota maupun di Kabupaten Pesisir
Selatan. Tempat penampungan (gudang) gambir rata-rata dimiliki oleh pedagang
besar yang berpusat di kota Padang. Permasalahan utama yang dihadapi oleh
petani dalam memasarkan produknya adalah dominasi pedagang kabupaten yang
merupakan kaki tangan daripara eksportir gambir. Melalui kaki-tangannya di daerah, membuat pedagang pengumpul dan
petani lainnya tidak berperan (Buharman, dkk,200l).
Penentuan
harga di pasar gambir lebih didominasi oleh kaki-tangan pedagang besar
(eksportir), walaupun pembelinya banyak, tetapi tetap saja tidak berlaku hukum
penawaran dan permintaan.
Praktek yang terjadi adalah pengaturan pembelian secara bergilir atau sebangsa
arisan di antara pedagang desa oleh kaki tangan pedagang besar dengan harga
yang telah ditentukannya.
Selama dalam proses tataniaga gambir di tingkat
Kabupaten, tidak ditemukan “ treatment “ (perlakuan) yang diberikan oleh pedagang
perantara, kecuali bagi yang bermodal besar memberikan perlakuan pengeringan
melalui penjemuran di panas matahari. Biasanya mereka kumpulkan dalam waktu
satu sampai dua minggu untuk mendapatkan gambir dalam jumlah tertentu dari
pertani atau pedagang pengumpul desa, untuk diangkut ke kota Medan dan
selanjutnya dari kota Medan di ekspor ke Singapura atau ke India.
Alasan petani menjual gambirnya di rumah kepada
pedagang pengumpul di desa adalah lebih praktis dan harganya tidak jauh berbeda
dengan harga di pasar lokal, berarti lebih menguntungkan karena tidak
mengeluarkan
biaya
ongkos angkut, komisi dan sebagainya bila dibawa ke pasar gambir. Apalagi
petani tidak memiliki akses ke pasar dan pedagang besar
selalu
mempermainkan harga gambir.
Tingginya harga di luar negeri tidak selalu berkorelasi
positif dengan harga di dalam negeri, kalaupun ada pengaruhnya tidak
signifikan. Hal disebabkan oleh kualitas produk di dalam negeri yang sangat
rendah dan petani dinilai tidak mampu memenuhi kualitas yang diinginkan, sehingga
para ekportir perlu melakukan proses lebih lanjut agar bisa diterima pasar.
Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa
permasalahan sistem dan usaha agribisnis gambir adalah sangat mendasar, baik
masalah hulu maupun hilir yang memerlukan pemecahan secara terpadu dan konsisten,
terutama sekali masalah permodalan dan pemasaran yang perlu dicari pemecahannya
dalam waktu dekat. Hasil identifikasi permasalahan modal/ pemasaran dan
alternatif pemecahan masalah.
Hasil studi yang dilakukan Denian dan Fiani (1994)
dibeberapa lokasi sentra produksi gambir secara morfologis ditemukan 3 tipe
gambir, yaitu tipe udang,cubadak, dan riau. Perbedaan morfologisnya terlihat
dari ukuran daun, panjang, petiola, warna pucuk, warna daun, warna cabang dan
ranting, dan rendemen hasil. Ada kecenderungan produktivitas getah dan rendeman
tipe udang lebih baik dari pada tipe lainnya, walaupun hal ini masih memerlukan
penelitian lebih jauh.
Hasan et al. (2000) mengemukakan bahwa tanaman gambir
sampai saat ini umumnya diperbanyak melalui perbanyakan generatif, yaitu
melalui biji yang disemaikan lebih dulu dengan prosedur tertentu untuk
memperoleh bahan tanaman yang memiliki daya tumbuh lebih baik. Selanjutnya
dibibitkan di tempat khusus sebelum ditanam di lapangan. Namun demikian,
tanaman gambir juga dapat dikembangkan melalui perbanyakan vegetatif, seperti
stek, perundukan, dan kultur jaringan (Hasan dan Edirman, l996), tetapi cara
ini tidak umum dilakukan petani dan biasanya dilakukan untuk kepentingan
penelitian dan pengkajian, terutama sekali dalam rangka mempertahankan kualitas
bibit turunan dari induknya atau pemurnian jenis. Identifikasi permasalahan
bibit dan alternatif pemecahannya
dikemukaka pada matrik program aksi pembibitan gambir di Sumatera Barat.
Budidaya yang benar adalah bagaimana caracara
bercocok tanam yang tepat sejak dari penyiapan lahan sampai proses berproduksi,
di antaranya pembuatan lubang tanam, jarak tanam, dan tindakan pemeliharaan
(penyiangan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit).
Jarak tanam gambir bervariasi antara l,5 x l,5 s/d
3,5x3,5 m tergantung pada kemiringan lahan yang digunakan untuk penanaman.
Jarak tanam yang terlalu rapat mngakibatkan terjadinya persaingan antara
tanaman relatif tinggi, sehingga pertumbuhan dan produksi tidak optimal.
Demikian pula bila terjadi sebaliknya, jarak tanaman yang terlalu longgar
menyebabkan terjadinya bahaya longsor, penggunaan lahan yang tidak efisien dan
berpeluangnya pertumbuhan gulma yang menjadi kompetisi tanaman dalam
memanfaatkan hara, air, cahaya dan tempat tumbuh (Isely, l960; Delorit dan Ahlgreen,
l967). Hasil penelitian jarak tanam yang dilaksanakan di Tanjung Pati,
Kabupaten 50 Kota pada tahun l918 diperoleh hasil tertinggi pada jarak tanam 3
x 3.5 m (Heyne, l987). Sedangkan Idris dkk (l996) menyatakan bahwa jarak tanam
gambir 2 x 2 m yang digunakan pada penelitian di Solok, Pasisir Selatan dan
Kabupaten 50 Kota menghasilkan produksi yang lebih baik. Tapi umumnya petani
menggunakan jarak tanam l.5xl.5 m.
Untuk ukuran lubang disarankan Hasan (2004)
menggunakan ukuran 30 x 30 x 30 cm atau 40 x 40 x 40 cm akan memberikan
pertumbuhan yang baik bagi tanaman gambir. Sedangkan Daswir dan Kesuma (l993)
melaporkan bahwa pertumbuhan bibit yang baik di lapangan diperoleh dari ukuran
lubang l0 x l5 x 30 cm.
Pemupukan gambir merupakan salah satu cara untuk
mendapatkan produksi yang optimal mengingat kandungan hara di dalam tanah terbatas
dan cenderung menurun akibat diserap tanaman terus menerus. Apalagi pertanaman
gambir rakyat diusahakan pada daerah yang relatif miskin hara atau lahan
marginal dengan topografi miring dan bergelombang yang rentan dengan erosi,
diperlukan penambahan unsur hara dari luar dalam bentuk pupuk. Oleh karena itu,
unsur hara yang diberikan ke dalam tanah berupa pupuk hendaklah dalam jumlah
yang mampu untuk meningkatkan produksi dan mengganti hara yang diserap tanaman.
Hasan (l995) melaporkan bahwa pemupukan tanaman gambir di Siguntur pada tanaman
umur 2 tahun menggunakan NPK l5.l5.l5 sebanyak 200 kg/ha dapat meningkatkan
produksi panen daun dan ranting basah sebesar 77,67 % per rumpun. Sedangkan di
Kebun Percobaan Laing Solok dengan ukuran yang sama dapat meningkatkan produksi
daun dan ranting basah sebesar 6l,59 % (Hasan, l994). Begitu pula Kusuma (l992)
telah mengungkapkan bahwa pemupukan tanaman gambir umur 7 tahun di Siguntur
dengan NPK 15.15.15 sebanyak 200 kg/ha dapat meningkatkan pertumbuhan rata-rata
diameter batang 52,08 %, jumlah daun 62,02 %, jumlah cabang primer 99.68 %,
panjang cabang sekunder 46,74%.
Pengendalian hama penyakit pada tanaman gambir belum
banyak dilakukan mengingat serangan hama penyakit belum sampai menganggu
pertanaman di lapangan, namun demikian ada beberapa jenis hama yang menyerang,
di antaranya famili lepidoptera, hemiptera, coleoptera, dan orthoptera yang merusak
daun dan pucuk tanaman gambir (Adria dan Idris, l995). Sedangkan Arneti dkk
(l999) menemukan 5 jenis serangga yang menyerang pertanaman gambir di sentra
produksi, yaitu hama belalang(orthoptera) dengan rata-rata 7,5 %, ulat kantong(lepidoptera)
rata-rata 5 % ; kepik (Hemiptera) rata-rata l0% dan kutu daun (homoptera)
rata-rata 5 % serta penggulung daun (lepidoptera) rata-rata 7,5 %. Sedangkan
serangan penyakit pada tanaman gambir belum banyak diketahui (Mardinus et al.,
l995), meskipun di lapangan ditemukan gejala bercak daun yang disebabkan
serangan jamur.
Umumnya petani melakukan panen 2 kali setahun
tergantung keadaan pertumbuhan tanaman dan ketuaan daun, bila pertumbuhan baik
dan ketuaan daun memenuhi syarat, maka dapat dilakukan 3 kali setahun.
Risfaheri dan Yanti (l993) mengemukakan bahwa tingkat ketuaan daun gambir saat
dipanen berpengaruhpada rendemen dan dan kadar katechin. Ada kecenderungan daun
yang lebih muda memiliki rendemen dan kadar katechin yang lebih tinggi. Sedangkan
Suherdi (l995) yang melakukan pengamatan terhadap pengolahan daun gambir tanpa
dan menggunakan ranting ternyata kandungan getah pada daun gambir lebih tinggi
dibanding pakai ranting .
Pengolahan gambir secara tradisional yang umumnya
dilakukan petani melalui enam tahap, yaitu perebusan daun dan ranting,
“pengempaan”, pengendapan getah, penirisan, pencetakan, dan pengeringan,
Pengolahan ini akan menghasilkan produk yang terdiri atas 2 jenis, yaitu gambir
untuk makan sirih dan bahan baku untuk industri. Perbedaan pengolahan ke dua
jenis adalah pada cara perebusan. Produk makan sirih perebusannya hanya
menggunakan air biasa, sedangkan untuk bahan baku industri menggunakan air yang
dicampur dengan air limbah dari penirisan getah gambir selama proses penisiran
getah berlangsung serta ditambah zat kimia tertentu sebagai suplement. Oleh
karena itu, produk gambir untuk makan sirih kadar katechinnya lebih tinggi
(71%), lebih rapuh, bewarna lebih cerah, dan rasanya lebih enak dibanding
gambir untuk industri (Suherdi et al., l994). Mengenai air limbah penirisan,
menurut Heyne (l987) banyak mengandung asam lemak yang berguna dalam pencelupan
tekstil dan penyamakan kulit.
Pengempaan
adalah pengolahan gambir yang menggunakan alat tradisionil yang terbuat dari
kayu dan merupakan tahap yang sangat menentukan dalam pengolahan gambir, karena
menentukan kualitas dan kuantitas getah yang keluar dari daun dan ranting, di
samping oleh jenis alat yang digunakan dan kemampuan tenaga manusia dalam
pengempaan. Terdapat dua jenis alat kempa yang berkembang di Sumatera Barat,
yaitu alat kempa kayu dan alat kempa dongkrak. Kempa kayu merupakan alat
pengolahan peninggalan nenek moyang yang dalam operasionalnya cukup menguras
tenaga kerja manusia, sedangkan pengolahan dengan kempa dongkrak sudah lebih
ringan, walaupun tingkat keamanan dan kebersihannya masih kurang terjaga (Hasan
dkk, 2000).
Alat kempa kayu yang lebih dikenal sebagai alat
kempa baji terbuat dari dua belahan kayu besar yang menjepit sebuah jepitan
berbentuk huruf V. Kayu jepitan masing-masing berukuran panjang 4,5 meter,
lebar bagian tengah (tempat bahan) 0,5 meter, lebar bagian ujung dan pangkalnya
0,2 meter dengan tebal 0,15 m. Dalam operasional alat kempa kayu dilengkapi
dengan 8 buah baji kayu ukuran besar yang berfungsi sebagai pasak untuk
pengatupan jepit. Baji-baji tersebut dipasakkan dengan palu kayu seberat l5 kg
sehingga jepitan saling merapat, sehingga bahan baku yang ditaruh di antara
kedua kayu akan terkempa dan getahpun keluar. Sedangkan pada alat kempa dongkrak,
fungsi kayu jepitan diganti dengan dongkrak yang berkapasitas 20 ton, dipasang
di atas bahan yang akan dikempa.
Batas antara bahan dengan dasar dongkrak dibatasi
dengan papan tebal. Sedangkan bahagian atas dongkrak dan bahagian bawah bahan
terdapat balok kayu penahan, sehingga gerakan dongkrak kearah bahan yang
memungkinkan berlangsungnya pengempaan, sehingga getah gambir keluar.
Saat ini telah berkembang 4 jenis alat yang
menggunakan teknologi, yaitu alat kempa sistem dongkrak, sistem ulir, sistem
dongkrak hidrolik, dan sistem pabrik. Kelebihan alat- alat ini lebih effisien
dibanding alat tradisional karena tidak menggunakan tenaga manusia, di samping
kualitas dan kapasitasnya lebih tinggi, penanganannya lebih mudah dan mampu
memberikan daya tekanan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, penggunaan alat
yang mengandung teknologi ini perlu lebih disosialisasikan di dalam masyarakat
agar lebih cepat berkembang. Masalah rendemen dan mutu yang dihasilkan merupan
hal yang perlu dicarikan teknologi dan alat yang lebih tepat guna, effisien,
dan effektif. Di antaranya standarisasi alat (mesin) yang sesuai dengan
kebutuhan.
BAB III
BAHAN DAN METODA
3.1 Tempat dan
Waktu
Wawancara petani ini diadakan pada tanggal 16
november 2012 pada pukul 14.30 wib. Tempat kami mewawancarai petani tanaman
gambiri di Jorong Kampung Harapan, Kenagarian Sialang , Kecamatan Kapur IX,
Kabupaten Limapuluh Kota, Sumetera Barat. Yang merupakan penghasil utama gambir
di Sumetera Barat.
3.2 Jenis Tanaman
Jenis tanaman yang kami pilih yaitu tanaman gambir (Uncaria
gambir (Hunt.)
Roxb) termasuk dalam divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida,
ordo Gentianales, family Rubiaceae dan genus Uncaria.
3.3 Profil Petani
Petani yang kami wawancarai bernama
Syamsibar berumur 47 tahun merupakan seseorang petani gambir, dan bapak
syamsibar pendidikan terakhirnya kelas 2 Sekolah Dasar dan mempunyai tanggungan
4 orang yaitu istri, anak, ank angkat dan adik istri. Bapak syamsibar mempunyai
luas lahan 2 Ha dan merupakan punya sendiri.
3.4 Analisa
Usahatani Tanaman Gambir
Analisa usahatani tanaman gambir
adalah salah satu alat untu mengukur keberhasilan usahatani tanaman gambir.
Dalam menganilisa tanamn gambir kami mengunakan analisa usahatani satu cabang.
Uasahatani yang dikatakan berhasil apabila nilai R/C lebih besar dari satu, semakin besar nilai
R/C rasio maka menunjukan semakin besar
keuntungan usahatani tersebut. Suatu metode dapat dikatakan efesien dari metode
lainnya, apabila mampu menghasilkan output yang lebih tinggi nilainya untuk
biaya yang sama atau menghasilkan keuntungan yang sama dengan biaya yang lebih
kecil.
3.5 Metoda
Metoda yang kami gunakan dalam
melakukan wawancarai patani adalah metoda pertanyaan terbuka dan tetutup.
petanyaan yang diajukan kepada petani seperti nama, umur, pendidikan,
tanggungan dan sebagainya. Hal ini digunakan untuk melihat gambaran umum
petani. Untuk menganalisis pendapatan petani tanaman gambir diajukan pertanyaan
seperti hasil panen, penggunaan tenaga kerja, biaya saprodi dan biaya yang
dikeluarkan dalam melakukan produksi.
3.6 Alat dan Bahan
Alat yang kami gunakan dalam melakukan
praktikum ini adalah alat tulis, dan dokumentasi. Bahan yang kami gunakan dalam
pratikum ini adalah kuisioner.
3.7 Cara Kerja
Praktikum ini di mulai dengan
pembuatan kuinsioner yang mana di sesuaikan dengan tanaman yang diwawancarai.
Pembuatan kuinsioner di buat sendiri tetapi yang di pakai kuisioner yang di
buat dosen mata kuliah. Setelah kuisioner di dapatkan pada hari rabu kami pergi
ke kampung salah satu rekan kami untuk mewawancarai petani gambir. Setelah data
di dapat kami menganalisa usahatani tanaman gambir.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Budidaya
Tanaman Gambir
Proses budidaya tanaman gambir dimulai
dari penyidiaan input usahatani yang terdiri dari bibit tanaman gambir dan
media tanam yaitu alahan yang sudah di bakar. Input tenaga kerja diperoleh dari
tenega kerja dalam keluarga dan tenaga kerja diluar keluarga. Tenaga kerja
dalam keluarga di pakai di dalam pengolahan lahan, penyiangan, penyemaian, dan
di saat panen. Tenaga kerja diluar keluarga di dalam penyiangan, pemanenan dan
pengangkutan. Dalam budidaya tanaman gambir tidak memerlukan pupuk karena
sebelum di tanam tumbuhan di lahan di bakar dan abu tersebut sebagai unsur hara
tambahan. Pengendalian hama dan penyakit tanaman belum dilakukan oleh petani,
kerena kurangnya pengetahuan tentang hama dan penyakit tanaman.
4.2 Penggunaan
Saprodi
Dalam penyiapan kebun tanaman gambir
benih petani yang digunakan petani hanya dari buah tanaman sebelumnya.
4.3 Analisis Biaya
Pendapatan
Penerimaan merupakan hasil kali dari
jumlah produksi dengan harga jual persatuan. Produksi rata-rata tanaman
gambir pada tahun kelima 1.000 kg dengan
harga jual Rp 15.000/kg dan total penerimaan Rp 15.000.000.
Biaya usahatani berbentuk biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan .
biaya tunai adalah biaya yang langsung dikeluarkan petani dalam bentuk rupiah yang harus dimiliki
petani dalam menjalankan kegiatan usahataninya. Biaya yang diperhitungkan
digunakan untuk menghitung berapa
sebenarnya pendapatan kerja petan, modal dan menilai kerja keluarga, biaya
penyusutan peralatan, bangunan dan sewa lahan milik sendiri. Dalam praktikum
ini dapat dilihat pendapatan rata-rata yang diterima oleh petani gamabir di jorong
kampung harapan. Biaya yang dikeluarkan petani dalam usahtani gambir biaya
tunai sebesar Rp 6.567.800, biaya yang di perhitungkan sebesar Rp 2.934.200 dan
total biaya- biaya adalah Rp 9.502.000. Total pendapatan yang diterima petani
adalah Rp 8.342.200 dan total keuntungan yang diterimah petani sebesar Rp
5.498.000. berdasarkan nilai penerimaan dan biaya (R/C) total sebesar 1,58 yang
artinya untuk setiap rupiah biaya total
yang digunakan petani dalam memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,58. Sedangkan
untuk R/C rasio atas biaya tunai adalah sebesar 2,28 artinya setiap rupiah
biaya tunai yang digunakan petaniakan memperoleh penerimaan sebesar Rp 2,28.
4.4 Pembahasan
Dalam
penyiapan kebun gambir baru, petani hanya menanam bibit gambir yang berasal
dari buah gambir dari kebun mereka sendiri. Tidak ada seleksi buah maupun
tanaman induk yang baik. Banyak petani tidak mengetahui bahwa terdapat lebih
dari satu varietas tanaman gambir yang kemampuan produksinya berbeda. Di sisi
lain, akibat keterbatasan permodalan, banyak tanaman kebun gambir yang dimiliki
masyarakat telah tua dan sebaiknya diremajakan. Dalam budidaya, petani gambir
hanya melakukan pemeliharaan kebun mereka dengan penyiangan tanpa penanganan
hama maupun penyakit dan pemupukan yang baik. Kondisi tersebut menyebabkan
produktivitas kebun mereka sepenuhnya tergantung pada alam.
Total
pendapatan yang diterima petani adalah Rp 8.342.200 dan total keuntungan yang
diterimah petani sebesar Rp 5.498.000. berdasarkan nilai penerimaan dan biaya
(R/C) total sebesar 1,58. Sedangkan untuk R/C rasio atas biaya tunai adalah
sebesar 2,28. Usahatani gambir layak di usahakan dan menguuntungkan.
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1
kesimpulan
Berdasarkan
prose budidaya gambir masih tradisional, bibit yang digunakan masih bibit
lokal, tidak ada pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. berdasarkan
nilai penerimaan dan biaya (R/C) total sebesar 1,58 yang artinya untuk setiap rupiah biaya total yang
digunakan petani dalam memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,58. Sedangkan untuk
R/C rasio atas biaya tunai adalah sebesar 2,28 artinya setiap rupiah biaya
tunai yang digunakan petaniakan memperoleh penerimaan sebesar Rp 2,28. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa usahatani tanaman gambir menguntungkan karena
R/C rasio lebih besar dari satu dan
layak diusahakan.
5.2
saran
Dalam
kegiatan usahatani gambir harus ada kelompok petani supaya bisa maslah dalam
usahatani bisa dan di pecahkan dan harus ada penyuluhan tentang hama dan
penyakit tanaman gambir agar petani bisa mengatasi hama dan penyakit tanaman
gambir tersebut. Dalam pemakaian bibit petani harus mengunakan bibit unggul
supaya produksi meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, A 1991.
Manfaat Tanaman Gambir. Makalah Penataran Petani dan
Pedagang
Pengumpul Gambir di Kecamatan Pangkalan Kab. 50 Kota 29-30
November
1991. FMIPA Unand. Padang 23 hal.
Hernanto,F.1989.ilmu usahatani.penebar swadaya.jakarta
http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/perspektif/Perspektif_vol_5_No_1_5_Azmi.phttp://elibisis.perpustakaan.ipb.ac.id/fullteks%5Cdisertasi%5C2011%5C2011ahb.pdf
Nasrun
1990. pengaruh ektrak daun gambir tehadap
jamur Fusarium oxysporum
schledt
penyebab layu tanaman cabai, Manggaro Jurnal Hama dan
Penyakit.
Faferta Unand Padang I (2);8-10
Nasrun
2001. pemanfaatan katechin ekstrak daun gambir
sebagai fungisida nabati
dalam
pengendalian penyakit layu tanaman tomat. Stigma IX (1)
Januari-
Maret 2001; 54-57
Nazir,
M. 2000. Gambir : Budidaya, Pengolahan
dan Prospek Diversifikasinya.
Yayasan Hutanku, Padang 2000.
No comments:
Post a Comment